Kamis, 25 Februari 2010

ASAS-ASAS DALAM KUHAP

BAB 3

ASAS-ASAS DALAM KUHAP

Para penegak hukum dalam menangani suatu perbuatan pelanggaran hukum pidana atau peristiwa hukum pidana menganut asas-asas,: antara lain sebagai berikut:

1. Asas Legalitas.
2. Asas Keseimbangan.
3. Asas Praduga tak bersalah.
4. Asas Pembatasan Penahanan.
5. Asas Ganti Rugi dan Rehabilitasi.
6. Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi.
7. Asas Unifikasi.
8. Asas Diferensiasi Fungsional.
9. Asas Saling Koordinasi.
10. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan.
11. Asas Peradilan Terbuka Untuk Umum.


1. Asas Legalitas.

Pelaksanaan penerapan KUHAP seharusnya bersumber pada the rule of law, artinya semua tindakan penegakan hukum harus berdasarkan pada :

a. Ketentuan hukum dan undang-undang yang berlaku.
b. Menempatkan kepentingan hukum dan undang–undang diatas segala-galanya.

Bertentangan dengan asas legalitas, KUHAP-pun menganut asas “oportunitas” yaitu suatu asas yang mengenyampingkan atau “mendeponir” perkara dengan tidak mengajukan kepengadilan meskipun bukti-bukti telah memenuhi syarat-syarat hukum.

Pasal 8 Undang-Undang Pokok Kejaksaan Nomor 15/ 1961, sekarang diatur dalam pasal 32 huruf c Undang-Undang Kejaksaan RI. No. 5 tahun 1991 memberi wewenang kepada Kejaksaan Agung untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara berdasarkan alasan “Demi Kepentingan Umum” selain itu kewenangan untuk mendeponir dipertegas lagi oleh Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP dan KUHAP mengakui eksistensi perwujudan asas oportunitas tersebut.

Disisi lain berdasarkan pasal 140 ayat (2) huruf a KU-HAP, dihubungkan dengan pasal 14, menentukan semua perkara yang memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh hukum, penuntut umum harus menuntutnya dimuka pengadilan, kecuali terdapat cukup bukti bahwa peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau perkara ditutup demi hukum.

Sedangkan pasal 14 huruf h hanya memberi wewenang kepada penuntut umum untuk menutup suatu perkara berdasarkan “demi kepentingan hukum” dan bukan “demi kepentingan umum”.

Kedua ketentuan hukum tersebut diatas merupakan ketentuan yang saling bertentangan, disatu pihak Kejaksaan Agung diberi wewenang untuk mengenyampingkan/mendeponir suatu perkara demi kepentingan Umum suatu asas “oportunitas”, sedangkan dipihak lain penuntut umum diberi wewenang untuk mendeponir/mengenyampingkan suatu perkara “demi kepentingan hukum” (asas legalitas).

2. Asas Keseimbangan.

Asas Keseimbangan dijumpai dalam kosideran huruf c
yang menyatakan dengan tegas bahwa dalam setiap penegakan hukum harus berlandaskan prinsip keseimbangan yang serasi antara dua kepentingan, yakni :

a. Perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia (HAM), dengan;
b. Perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat.

Sebelum KUHAP berlaku, aparat penegak hukum berorientasi pada kekuasaan semata yakni sebagai “alat kekuasaan” atau “instrument of power”. Penegak hukum mempunyai wewenang yang tidak terbatas dan sama sekali tidak mengindahkan harkat dan martabat manusia (HAM).

Penahanan yang tidak ada batasnya dan dapat melampaui masa hukuman yang sedianya dijatuhkan, penyiksaan untuk memaksakan pengakuan tersangka maupun saksi merupakan pemandangan yang sudah sangat biasa pada waktu itu.

Perlindungan harkat dan martabat tersangka sebagai manusia sangat terabaikan syarat dengan tekanan-tekanan pisik maupun mental.

Setelah kehadiran KUHAP, maka harkat dan martabat tersangka sebagai manusia mulai memperoleh perhatian dan perlindungan, aparat penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang melakukan penangkapan dan penahanan atas seseorang yang diduga melakukan perbuatan/tindak pidana.

Pasal 17 KUHAP memaksa penyidik jika akan melakukan penangkapan orang yang diduga telah melakukan perbuatan/tindak pidana, maka terlebih dahulu harus ada “bukti permulaan yang cukup” bukan berdasarkan suka atau tidak suka “like or dislike”.

Penjelasan pasal tersebut menegaskan, bahwa perintah
penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang tetapi ditujukan kepada mereka yang benar-benar melakukan tindak pidana.

Penegasan ini merupakan peringatan bagi penyidik, sebelum mengeluarkan perintah atau melakukan penangkapan harus terlebih dahulu mengumpulkan bukti-bukti yang benar-benar dapat mendukung kesalahan perbuatan yang dilakukan oleh calon tersangka melalui penyelidikan.

Demikian dengan tersangka/terdakwa juga diberi hak dan sekaligus merupakan kewajiban penyidik setelah melakukan penangkapan, apabila pejabat penegak hukum melakukan penahanan kepada tersangka/terdakwa, sejak semula orang yang ditahan dan keluarganya :

a. wajib diberitahu alasan penahanan dan sangkaan atau dakwaan yang dipersalahkan kepadanya;
b. keluarga yang ditahan harus segera diberitahukan tentang penahanan serta tempat dimana ia ditahan;
c. tersangka/terdakwa maupun keluarganya diberitahu dengan pasti berapa lama ia ditahan di masing–masing tingkat pemeriksaan.

Dengan berlakunya KUHAP sudah seharusnya system penyelidikan dan penyidikan menggunakan metode ilmiah atau “scientific crime detection” yang juga dapat diartikan sebagai “teknik dan taktis penyidikan kejahatan”.

Meskipun KUHAP telah melindungi harkat dan martabat manusia (HAM), tetapi di dalam prakteknya masih saja banyak terdapat penyidik yang masih menggunakan metode sebelum diberlakukan KUHAP yaitu metode memaksa pengakuan tersangka yang dituangkan dalam berita acara pemeriksaannya (BAP).

Faktor-faktor yang masih mendorong adanya penganiayaan, pemerasan pada tersangka dengan mengabaikan per-lindungan pada harkat dan martabat tersangka sebagai manusia (HAM), karena masih dipakainya pengakuan tersangka sebagai salah satu alat bukti.


3. Asas Praduga Tak Bersalah.

Salah satu asas terpenting dalam hukum acara pidana ialah asas praduga tak bersalah atau “presumtion of inno- cent” terdapat dalam penjelasan umum butir 3 huruf c Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Pasal 8 Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No. 14 Tahun 1970.

Asas praduga tak bersalah mengandung arti bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau diperiksa di pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah mempunyai kekuatan hukum tetap.

Sebagai perwujudan asas praduga tak bersalah ialah bahwa seorang tersangka atau terdakwa tidak dapat dibebani kewajiban pembuktian, karena itu penyidik atau penuntut umumlah yang dibebani kewajiban untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

Asas praduga tak bersalah jika ditinjau dari segi teknik penyidikan dinamakan “prinsip akusatur” atau “accusatory procedure (accusatorial system)`. Prinsip ini menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan yakni :

*) Tersangka/terdakwa diperlakukan sebagai subyek pemeriksaan, karena itu harus didudukkan dan diperlakukan dalam kedudukan sebagai manusia yang mempunyai harkat dan martabat serta harga diri.

*) Obyek pemeriksaan adalah perbuatan pidana yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa.

Asas praduga tak bersalah, merupakan pedoman aparat penegak hukum untuk menggunakan prinsip akusatur dalam setiap tingkat pemeriksaan dengan membuang jauh-jauh cara-cara pemeriksaan yang “inkusitur” atau “inquisitorrial system” yang menempatkan tersangka/terdakwa dalam setiap pemeriksaan sebagai obyek, sehingga dapat diperlakukan dengan semena-mena dengan mengabaikan harkat dan martabat tersangka/terdakwa sebagai manusia.


4. Asas Pembatasan Penahanan.

Dalam hal penahanan terdapat perbedaan antara KU-HAP dengan HIR.

Dalam HIR banyak penahanan menimbulkan kejadian-kejadian yang sangat mengerikan, karena :

a. HIR tidak memberi batasan maksimum masa penahanan tersangka/terdakwa pada setiap pemeriksaan oleh aparat penegak hukum.
b. Setiap habis perpanjangan masa penahanan dapat dimintakan lagi perpanjangan penahanan terus menerus tanpa berkesudahan, sehingga masa penahanannya tidak menentu kapan berakhirnya.
c. Ketertiban administrasi perpanjangan penahanan tidak diberkas dengan baik dan teliti, sehingga banyak menimbulkan ketidak pastian status penahanan oleh siapa.

Dalam KUHAP, setiap tindakan penahanan terperinci batas waktu dan statusnya dengan seksama, sehingga dapat diketahui siapa yang melakukan penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka/terdakwa.


5. Asas ganti rugi dan rehabilitasi .

Setelah dikeluarkannya peraturan pelaksanaan Pasal 9 Undang-undang Pokok Kehakiman Nomor 14 Tahun 1970, seperti yang diatur dalam Bab XII KUHAP, Pasal 95-97 sudah ada pedoman tata cara penuntutan ganti rugi dan rehabili-tasi, maka penuntut ganti rugi dan rehabilitasi sudah tidak ada kendala seperti belum dikeluarkannya peraturan pelaksanaan UU Nomor 14/1970. dan alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi, sebagai berikut :

5. 1. Ganti rugi akibat penangkapan/penahanan.

Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi :

a. penangkapan atau penahanan secara melawan hukum.
b. penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang - undang.
c. penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan menurut hukum.
d. penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person).

5. 2. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan.

- tindakan memasuki rumah tidak sah menurut hukum karena tidak ada surat perintah dan surat ijin dari ketua pengadilan.

Dengan Praperadilan apabila perkaranya belum diajukan atau tidak dimajukan kepengadilan, dan ke pengadilan jika perkaranya telah disidangkan.

Berdasarkan peraturan pelaksanaan yang dikeluarkan pada tanggal 1 Agustus 1983 pada Bab IV PP No. 27/1983 ditegaskan, ganti rugi dibebankan kepada Negara c.q. Departemen Keuangan dan untuk itu Menteri Keuangan pada tanggal 31 Desember 1983 telah mengeluarkan Keputusan Menteri Keuangan No. 983/LMK. O1/1983.


6. Penggabungan perkara :

Dalam KUHAP diatur dua perkara yang digabungkan menjadi satu, yakni :

1. Perkara pidana dengan perkara perdata, dan
2. Perkara pidana sipil dengan pidana militer (koneksitas).


6. 1. Penggabungan perkara pidana dengan perdata.

Korban tindak pidana dapat menggugat ganti rugi seperti gugatan ganti rugi dalam perkara perdata, bersama-sama dengan pemeriksaan perkara pidana yang sedang berlangsung, sebelum memasuki taraf penuntut umum memajukan tuntutan (rekuisitur).

Gugatan ganti rugi perdata yang digabung dengan per-kara pidana, maka yang perlu diperhatikan, ialah :

a. tuntutan ganti rugi terbatas pada “kerugian yang dialami korban” sebagai akibat langsung dari tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa/tergugat.
b. tuntutan ganti rugi terbatas sebesar yang diderita oleh sikorban/penggugat.
c. tuntutan ganti rugi terbatas pada pelaku tindak pidana/tergugat.


6.2. Penggabungan Perkara pidana sipil dengan pidana militer (Koneksitas).

Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer (Koneksitas), diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer.


7. Asas unifikasi.

Asas unifikasi hukum yang dianut KUHAP ditegaskan dalam konsideran huruf b Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor IV (MPR/1978) : bahwa demi pembangunan dibidang hukum perlu mengadakan usaha peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan mengadakan :

a. pembaharuan kodifikasi, serta
b. unifikasi hukum dalam rangkuman pelaksanaan secara nyata wawasan nusantara.

Unifikasi hukum acara pidana, merupakan suatu usaha untuk mengikis pengkotak-kotakan kelompok masyarakat warisan politik kolonial Belanda yang mengelompokkan hu-kum berdasarkan daerah, golongan, keturunan, dan membe-dakan acara pidana yang berlaku untuk Jawa-Madura dengan daerah Indonesia lainnya, dan diskriminasi hukum acara pidana yang berlaku antara Bumi Putra dengan keturunan Eropa.


8. Asas Diferensiasi Fungsional.

Deferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas dan wewenang antara jajaran aparat penegak hukum acara pidana secara instansional.

Pembagian tugas dan wewenang diatur sedemikian rupa sehingga tetap terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakaan hukum yang saling berkaitan dan berkesinambungan antara satu instansi dengan instansi lainnya, sampai ke tingkat proses pelaksanaan eksekusi.

Tujuan utama deferensiasi fungsional secara instansional adalah :

a. untuk menghilangkan “tumpang tindih” (overlapping) proses penyidikan antara kepolisian dan kejaksaan.
b. untuk menjamin “kepastian hukum”, setiap orang tahu dengan pasti instansi mana yang menangani perkaranya.
c. Untuk “menyederhanakan” dan “mempercepat” proses penyelesaian perkara, dalam menunjang peradilan cepat, tepat dan biaya ringan.
d. Untuk memudahkan pengawasan pihak atasan pada bawahan secara struktural.


9. Asas Saling Koordinasi .

Meskipun KUHAP menggariskan pembagian tugas dan wewenang secara instansional, dalam KUHAP juga dijalin hubungan antar instansi penegak hukum dalam suatu hubungan kerjasama yang diarahkan untuk terbinanya suatu sistem saling mengawasi (system ceking) antara sesama mereka.

Hubungan koordinasi fungsional antara aparat penegak hukum, antara lain :

9.1. Hubungan penyidik polri dengan penyidik pegawai negeri sipil tertentu.

a. Pejabat penyidik pegawai negeri sipil tertentu dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polri. (Pasal 7 ayat (2).
b. Untuk kepentingan penyidikan, penyidik memberikan petunjuk kepada penyidik pegawai negeri sipil tertentu dan memberikan bantuan penyidikan yang diperlukan. (Pasal 107 ayat (1).
c. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu, melaporkan a-danya tindak pidana yang sedang disidik kepada penyidik polri. (Pasal 107 ayat (2).
d. Penyidik pegawai negeri sipil tertentu menyerahkan hasil penyidikan yang telah selesai kepada penuntut umum melalui penyidik polri. (Pasal 107 ayat (3).
e. Dalam hal penyidik pegawai negeri tertentu menghentikan penyidikan, segera memberitahukan kepada penyidik polri dan penuntut umum. (Pasal 109 ayat (3).

9.2. Hubungan penyidik dengan penuntut umum.

a. Penyidik diwajibkan untuk memberitahu dimulai penyidikan kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (1).
b. Penghentian penyidikan oleh penyidik wajib diberitahukan kepada penuntut umum. (Pasal 109 ayat (2).

Dalam hal penghentian penyidikan, penuntut umum dapat berpendapat lain, dan jika penghentian penyidikan tersebut dianggap tidak sah, maka penuntut umum dapat mengajukan tidak sahnya penghentian penyidikan kepengadilan dengan Praperadilan.
(Pasal 77 huruf a jo. Pasal 78).

c. Penyidik menyerahkan hasil pemeriksaan tersangka ke penuntut umum dalam rangka pra penuntutan yang akan dilakukan oleh penuntut umum untuk pengajuan perkaranya ke pengadilan, karena itu penuntut umum dapat melakukan hal-hal sebagai berikut :

- mengembalikan berkas hasil pemeriksaan ke penyidik jika hasil pemeriksaan tersebut dianggap kurang lengkap dengan disertai petunjuk untuk dilengkapi dan penyidik berkewajiban segera melakukan penyidikan tambahan untuk dilengkapi sesuai dengan petunjuk penuntut umum.

- Jika waktu 14 hari berakhir dan penuntut umum tidak mengembalikan berkasnya ke penyidik, maka berkas acara pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh penyidik dianggap telah lengkap untuk diajukan ke pengadilan.

- dengan adanya pemberitahuan hasil penyidikan atau berita acara pemeriksaan (BAP) nya telah lengkap meskipun belum berakhir batas waktunya atau telah terlewati batas akhir 14 hari, maka sejak saat itu tanggung jawab penyidik beralih ke penuntut umum. (Pasal 110).

d. Penyidik dapat memohon kepada penuntut umum untuk memperpanjang masa penahanan, dan penuntut umum dapat memberi perpanjangan tahanan penyidik atas tersangka maksimum 40 hari. (Pasal 24 ayat (2).
e. Penyidik diberi turunan surat pelimpahan perkara dan surat dakwaan oleh penuntut umum. (Pasal 143).
f. Dalam acara pemeriksaan cepat, penyidik atas kuasa penuntut umum melimpahkan berkas perkara dengan menghadapkan terdakwa, saksi, dan barang bukti ke pengadilan. (Pasal 207).

9. 3. Hubungan penyidik dengan hakim/pengadilan.

a. Ketua pengadilan negeri memberi perpanjangan pena- hanan yang dimohon penyidik dengan surat penetapan berdasarkan ketentuan yang diatur Pasal 29.
b. Ketua pengadilan negeri dapat menolak atau memberi surat ijin kepada penyidik untuk melakukan :

- penggeledahan rumah,
- penyitaan, atau
- surat ijin khusus pemeriksaan surat .(Pasal 33, 38, 43, dan 47).

c. Ketua pengadilan negeri memberi atau menolak permohonan penyidik untuk pelaksanaan penggeledahan rumah atau penyitaan yang dilakukan oleh penyidik dalam keadaan yang sangat perlu dan mendesak.
d. Penyidik memberikan kepada panitera bukti bahwa surat amar putusan dalam pelanggaran lalu lintas telah disampaikan kepada terpidana. (Pasal 214 ayat (8).
e. Panitera menyampaikan kepada penyidik atas perlawanan dari terdakwa dalam perkara lalu lintas.

9.4. Hubungan tersangka, terdakwa, penasihat hukum dan aparat hukum.

a. Pada setiap tingkat dan waktu pemeriksaan tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan penasihat hukum. (Pasal 54).
b. Tembusan surat perintah penangkapan/penahanan, penahanan lanjutan harus diberikan pada keluarganya. (Pasal 18 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (3).
c. Keberatan atas penghentian penyidikan yang dilakukan oleh penyidik dapat diajukan oleh pihak ketiga yang berkepentingan dan memintakan lewat praperadilan untuk memeriksa sah tidaknya penghentian yang dilakukan oleh penyidik. (Pasal 30).
d. Tersangka atau keluarganya dan penasihat hukumnya berhak mengajukan tuntutan praperadilan tentang sah dan tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. (Pasal 77 dan Pasal 80).
e. Tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi atas kesalahan penangkapan, penahanan atau akibat adanya penghentian penyidikan atau penuntutan yang diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan ditujukan pada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. (Pasal 81).


10. Asas peradilan sederhana, cepat dan biaya ringan.

Ketentuan-ketentuan KUHAP sebagai penjabaran asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, antara lain :


10.1. Asas peradilan cepat :

a. Tersangka atau terdakwa berhak segera mendapat pemeriksaan dari penyidik.
b. Tersangka atau terdakwa berhak segera diajukan kepada penuntut umum oleh penyidik.
c. Tersangka atau terdakwa berhak perkaranya segera diajukan ke pengadilan oleh penuntut umum.
d. Tersangka atau terdakwa berhak segera diadili oleh pengadilan.
e. Pelimpahan berkas perkara banding oleh pengadilan negeri ke pengadilan tinggi sudah dikirim 14 hari dari tanggal permohonan banding. (Pasal 326).
f. 7 hari setelah perkaranya diputus pada tingkat banding, pengadilan tinggi harus mengembalikan berkas ke pengadilan negeri. (Pasal 234 ayat (1).
g. 14 hari dari tanggal permohonan kasasi pengadilan negeri harus sudah mengirimkan berkas perkara ke Mahkamah Agung untuk diperiksa dalam tingkat kasasi. (Pasal 248).
h. 7 hari setelah putusan kasasi, Mahkamah Agung harus sudah mengembalikan hasil putusannya ke pengadilan negeri. (Pasal 257).


10.2. Asas sederhana dan biaya ringan :

a. Penggabungan pemeriksaan perkara pidana dengan tuntutan ganti rugi secara perdata oleh korban atas kerugiannya kepada terdakwa.
b. Pembatasan masa penahanan dengan hak tuntutan ganti rugi.
c. Banding tidak dapat diminta dalam perkara dengan acara cepat.
d. Meletakkan asas deferensiaasi fungsional agar perkara yang ditangani oleh aparat penegak hukum tidak terjadi tumpang tindih (overlapping).


10.3. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan :

Empat putusan dibawah ini tidak dapat dimintakan banding, dan ketentuan ini sangat menguntungkan terdakwa sekaligus merupakan acara yang sederhana, cepat dan biaya ringan. (Pasal 67). yakni :

a. Putusan bebas (vrijspraak),
b. Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslag van rechtsvervolging).
c. Kurang tepatnya penerapan hukum, dan
d. Putusan pengadilan dalam acara cepat.


11. Asas peradilan terbuka untuk umum.

- Kecuali pemeriksaan terdakwa yang menyangkut kesusilaan atau terdakwanya anak-anak,
- pemeriksaan sidang dipengadilan terbuka untuk umum. (Pasal 153 ayat 3)
- Meskipun pemeriksaan terdakwa di sidang pengadilan terbuka untuk umum,
- tetapi yang dapat melihat dan mendengarkan atau menyaksikan sidang harus berumur 17 tahun keatas. (Pasal 153 ayat (5).

- Apabila hakim pengadilan dalam memeriksa terdakwa melanggar ketentuan terbuka untuk umum kecuali perkara kesusilaan atau terdakwanya masih anak-anak,
- maka putusan hakim pengadilan tersebut batal demi hukum. (Pasal 153 ayat (4).

- Demikian juga jika pemeriksaan terdakwa dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak dilaku-kan dalam pemeriksaan terbuka untuk umum,
- maka putusan hakim pengadilan negeri tersebut batal demi hukum. (Pasal 153 ayat (4).
- meskipun pemeriksaan dalam perkara susila atau terdakwanya masih anak-anak dilakukan tertutup untuk umum,
- tetapi dalam putusan hakim pengadilan harus dibacakan secara terbuka untuk umum.